MENUJU UN 2007 YANG HALAL!

Februari 1, 2007 at 3:27 am Tinggalkan komentar

“VIRUS 5,0 & ERA OTAK KIRI”

Sutirjo

Dilematis Stadarisasi Mutu Pendidikan Nasional
Flu burung yang disebabkan oleh virus (Avian influenza/AIsub tipe H5N1), ternyata memiliki keunikan tersendiri. Hal ini karena virus tersebut diduga sudah mengalami perubahan sehingga muncul variasi baru. Artinya ada “kemajuan” dari variasi virus dalam hal menyerang dan menimbulkan dampak yang lebih mematikan pada kelompok unggas, khususnya ayam. Keresahan dan ketakutan lainnya adalah virus flu burung dapat juga menyerang pada hewan lainnya, misalnya kucing bahkan manusia.
Keresahan demi keresahan terus beruntun terutama dunia bisnis peternakan ayam, makanan yang pasokan utamanya adalah ayam, dan kematian manusia yang diakibatkan oleh penyakit flu burung. Pada akhirnya wabah flu burung menyebabkan “flu” di bidang perekonomian secara makro, kesehatan, dan ketakutan global. Hal menarik dari ilustrasi di atas adalah adanya perubahan sebuah variasi dari virus flu burung menuju pada pencapaian variasi yang lebih berbahaya dan menimbulkan kecemasan dan keresahan yang luar biasa. Lantas apa kaitannya dengan dunia pendidikan kita? Dunia pendidikan kita sekarang sedang dilanda keresahan dan kebingungan berkaitan dengan akan hadirnya serangan virus di tahun 2007. Virus tersebut adalah virus ”5,0” dan ”4,25” dan sekedar mengingatkan bahwa virus ”5,0” atau ”4,25” adalah generasi baru dari ”4,5 dan 4,25, sedangkan untuk virus ”4.25” atau ”4.5” merupakan regenerasi dari “virus 4.01” yang juga hasil mutasi dari “virus 3.01”.
Virus 3.01 sebelumnya pernah mewabah di tahun 2002-2003 terhadap otak-otak para siswa dengan label standarisasi mutu pendidikan nasional yang diawali dengan dikeluarkanya surat keputusan Mendiknas No. 17/U/2003 Tentang Ujian Akhir Nasional menyebutkan, siswa yang mengikuti UAN berhak memperoleh STTB dan bagi yang lulus berhak mendapatkan Surat Tanda Kelulusan (STK).
Beda lagi dengan virus 4,25 atau 4.50 yang melanda di tahun 2006 dengan justifikasi syarat lulus siswa-siswa untuk ke jenjang selanjutnya. Hal ini dikuatkan Peraturan Pemerintah (PP) No 19/2005 tentang standar nasional pendidikan dengan anggaran dana Rp 240 miliar untuk penyelenggaraan Ujian Nasional (UN) 2006 jenjang SMP dan SMA/SMK seluruh Indonesia. Dalam hal ini penyelenggaraan UN menjadi kewenangan tim independen yakni BSNP.
Persyaratan kelulusan bagi siswa yang diwajibkan oleh pemerintah di tahun tesebut meliputi tiga hal. Untuk dinyatakan lulus, maka siswa harus memiliki nilai lebih dari 4,25 untuk setiap mata pelajaran yang diujikan, dan rata- rata nilai ujian nasional lebih dari 4,50. Sedangkan untuk tahun pelajaran 2006-2007 kreteria Kriteria Kelulusan Ujian Nasional :
a. Memiliki nilai rata-rata minimum 5,0 untuk seluruh mata pelajaran yang diujikan dengan tidak ada nilai di bawah 4,25, atau
b. Memiliki nilai minimum 4,0 pada salah satu mata pelajaran, dengan nilai pada dua mata pelajaran lainnya masing-masing minimal 6.0
Hal yang urgen di saat wabah virus 5,0 ini yaitu memiliki beberapa gejala dan ciri spesifik. Misalnya sasaran utama serangan adalah siswa, tetapi imbas gejala keresahan melanda kepala sekolah beserta civitasnya dan orang tua. Ciri spesifik dari serangan virus 3,01 di tahun 2002-2003 berbeda dengan virus yang menyerang di tahun 2005-2006. Di tahun 2002-2003 lalu memiliki efek yaitu siswa yang tidak lulus diberi kesempatan untuk melakukan ujian ulang dan nilai praktek dan tulis yang diujikan secara nasional digabung.
Bagaimana dengan kehadiran virus 4.01 atau 5,0? Berikut ini dipaparkan secara singkat efek yang ditimbulkan dari setiap jenis virus di tiap tahun yang berbeda. Untuk UN tahun 2003-2004, di awali dengan Surat Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 153/U/2003, tentang Ujian Akhir Nasional. Isi dari keputusan menteri tersebut menyatakan peserta UAN 2004 dinyatakan lulus apabila memenuhi dua syarat akademis.
Pertama mengantongi nilai semua mata pelajaran yang diujikan secara nasional. Kedua tidak ada nilai kurang dari atau sama dengan 4.00 atau nilai minimal adalah 4.01. Ciri atau warning dari virus generasi ke dua ini yaitu peserta ujian yang tidak memenuhi ke dua syarat tersebut berarti tidak lulus dan tidak diperkenankan melanjutkan pada jenjang di atasnya serta wajib mengulang di kelas tiga. Hal lainnya yaitu hasil nilai praktek dan tulis dipisah.
Efek dari serangan virus 4.25 atau 4,50 jauh lebih dahsyat selain nilai UN harus lebih besar dari 4,25 untuk setiap mata pelajaran dan nilai rata-rata harus lebih besar dari 4,50, maka tidak ada ujian susulan. Artinya siswa yang tidak lulus tidak diperkenankan untuk melanjutkan ke jenjang selanjutnya.
Bagaimana dengan efek serangan virus 5,0 dan 4,25 di tahun 2006-2007 ini? Seperti yang telah diungkap di atas bahwa nilai rata-rata minimum 5,0 untuk seluruh mata pelajaran yang diujikan dengan tidak ada nilai di bawah 4,25, atau memiliki nilai minimum 4,0 pada salah satu mata pelajaran, dengan nilai pada dua mata pelajaran lainnya masing-masing minimal 6.0 dan tidak ada ujian susulan. Artinya siswa yang tidak lulus tidak diperkenankan untuk melanjutkan ke jenjang selanjutnya atau mungkin tidak ada lagi peluang adanya Paket B atau C seperti di tahun 2006.

Bersiap-siaplah! Mungkin itu kata-kata yang tepat bagi siswa, orang tua, guru, dan sekolah dalam menyongsong implementasi standarisasi pendidikan untuk menentukan kelulusan di tahun 2007.
Walaupun filosofi dan tujuan dari rencana implementasi ketentuan kelulusan tersebut sudah dikaji secara mendalam, tetapi ada beberapa hal yang mungkin layak untuk didiskusikan. Agar tujuan yang “baik” untuk memecahkan masalah pendidikan justru tidak memunculkan masalah baru yang lebih pelik. Masalah yang perlu diperbincangkan dengan semangat untuk membenahi dan mencapai yang lebih optimal akan dipaparkan berikut ini.
Realitis. Realita yang dimaksud adalah kondisi nyata dari dunia pendidikan itu sendiri, meliputi kesiapan civitas akademik dan masyarakat, kualitas proses pendidikan, realita banyaknya faktor dan parameter mutu pendidikan sendiri. Mutu pendidikan tentunya dapat diindikasikan oleh beberapa hal, misalnya proses pendidikan itu sendiri tetapi mengapa meningkatkan mutu pendidikan hanya dilihat dari meningkatkan batas minimum kelulusan siswa tampa memperhatikan keunikan dan kecerdasan majemuk siswa?
Layanan yang tidak sama dari pemerintah terhadap dunia pendidikan justru dievaluasi dengan parameter yang ’standar’ atau ’ seragam’. Masalah yang kompleks dalam dunia pendidikan hanya dipecahkan dengan memberikan tiga alternatif soal sulit, sedang, dan mudah. Mestinya adalah bagaimana memberikan layanan yang mendekati seimbang terhadap pendidikan yang ada di Indonesia, baru berbicara masalah standarisasi. Ilustrasinya adalah dua orang pelari marathon, pelari pertama diberi gizi dan latihan yang memadai. Pelari kedua tidak didukung dengan gizi yang baik dan latihannya tidak memadai, lantas kedua pelari diadu berlari untuk mencapai batas finish ’lulus’ yang sama. Adilkah apa yang dilakukan?
Dapat ditebak jika kebijakan itu diterapkan maka pasti daerah-daerah yang panen raya ’tidak lulus’nya adalah daerah konfilk Nanggroe Aceh Darussalam, Sulawesi Tengah, Papua, Nusa Tenggara Barat, dan Bengkulu. Sekedar mengingatkan pada ujian Nasional tahun 2004-2005 prosentase ketidaklulusan meningkat yaitu: siswa SMP sederajat yang tidak lulus 6,96 persen, naik menjadi 14 persen. Demikian juga dengan siswa SMA yang tidak lulus sebesar 9,22 persen, meningkat menjadi 22 persen. Nah…justru di tahun pelajaran 2005-2006 tingkat kelulusannya tinggi, pertanyaanya adalah apakah itu murni atau menggunakan ’jurus mabok’? Apakah perkiraan tingkat kelulusan yang tinggi di tahun 2005-2006 tersebut juga berlaku untuk UN 2006-2007?
Justru yang dikhawatirkan adalah pembengkakan dari jumlah siswa yang tidak lulus untuk tahun mendatang, utamnya di daerah konflik. Mungkinkah perkiraan siswa yang tidak lulus mencapai 30-35 persen atau sebaliknya justru tingkat kelulusanya mencapai 99,…..sekian persen? Mungkin saja tingkat ketidak lulusannya tinggi apabila sekolah tidak serius mempersiapkan siswanya secara baik, atau tingkat kelulusannya tinggi sedangkan proses dan realitanya dalam pembelajaran sehari-hari di sekolah tidak mencerminkan kelulusan yang 99% tersebut. Dugaan tersebut didasarkan pada realita kondisi sekolah-sekolah yang notabene masih sangat memprihatinkan terutama sekolah swasta di daerah pinggiran dan konflik. Cukup siapkah mereka mengimplementasikan kebijakan tersebut dengan JUJUR dan HALAL? Bagaimana dengan aplikasinya di daerah konflik atau pedalaman, apakah standarnya juga sama? Mereka mau sekolah saja sudah untung!
Kita tidak mengharapkan kebijakan standarisasi mutu pendidikan nasional yang obsesinya sebagai faktor ‘penggertak’ atau ‘pendorong’ mutu pendidikan justru hasilnya malah menjadi faktor ‘penghambat’. Utamanya pada pelaksanaan proses belajar mengajar pada makna pemberdayaan dan program wajib belajar yang dicanangkan oleh pemerintah, baik itu yang terkait dengan KBK atau KTSP.
Sebagai bahan renungan bahwa sepanjang pelaksanaan sejarah Ebtanas hasil yang diperoleh selama kurun waktu enam tahun ajaran hasilnya sangat memprihatinkan. Mengapa? Perhatikan saja nilai rata-rata NEM Nasional siswa SLTP/MTs selama enam tahun ajaran 1999/1991 hingga 1995/1996 hanya sebesar 5,37 sedangkan untuk tingkat SMA/MA dalam rentang waktu yang sama nilai rata-rata NEM hanya 5,09 (Budiarjo, 2003). Adapaun jika hasil UN di tahun 2005-2006 justru terjadi peningkatan yang tinggi masih perlu dipertanyakan secara jujur tingkat akuntabilitasnya.
Angka-angka tersebut diperoleh pada kondisi perekonomian yang relatif masih sehat yaitu sebelum terjadinya badai krisis multi dimensi yang berkepanjangan semenjak tahun 1997. Apabila Nilai rata-rata NEM yang dicapai diseluruh pelosok tanah air sebelum krisis ekonomi saja sudah sedemikian parah dapatkah dibayangkan bagaimana nilai rata-rata NEM anak bangsa ini pasca badai krisis yang tak berujung ini? Tentunya sangat mengkhawatirkan, sehingga logis jika peluang siswa siswa yang tidak lulus persentasenya membengkak jika dilaksanakan dengan ’jujur’ tanpa adanya keterlibatan ’tim sukses’ atau menggunakan ‘JURUS MABOK’

Standarisai Mutu Pendidikan Versus Wajar
Kebijakan peningkatan mutu pendidikan versus kebijakan WAJAR sembilan tahun. Apakah tidak kontra produktif apabila kebijakan ini benar-benar sudah digelindingkan? Perhatikan saja stigma dari persyaratan kelulusan siswa, apabila siswa tersebut dinyatakan tidak lulus dalam ujian akhir nasional maka siswa tersebut tidak dapat melanjutkan pendidikan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Bahasa sederhananya tinggal di kelas tiga atau mengulang di kelas tiga. Seandainya mengulang lagi tidak lulus, apa tindakan selanjutnya agar tidak terjadi sindrom siswa abadi.
Lantas mau dikemanakan anak-anak yang tidak lulus tersebut jika tidak mampu mengulang di kelas tiga karena alasan biaya. Artinya anak tersebut sekolahnya hanya berobsebsi sebatas lulus SMP atau SMA, dengan alasan faktor ekonomi. Apakah hal itu sudah diperhitungkan?
Konsekuensi logis dari pelaksanaan otonomi pendidikan dengan dihapuskannya ebtanas SD/MI satu sisi itu dianggap sebagai sebuah kemajuan, karena kebijakan Ebtanas jika disinkronkan dengan program wajar sembilan tahun menjadi dilematis. Sebelumnya hasil Ebtanas SD/MI digunakan tiket untuk ke SLTP/MTs, begitu juga dengan Ebtanas SLTP/MTs berfungsi sebagai tiket ke SMA/MA dan sekarang ternyata fungsinya bertambah sebagai salah satu prasyarat lulus atau tidaknya siswa tersebut.
Ternyata kelegaan penghapusan Ebtanas SD/MI tahun ajaran 2001-2002, tidak diikuti kelegaan yang lebih besar dengan ditiadakannya Ebtanas SLTP dan SMA malah memperkokoh dan memperkuat daya tekan fungsi nilai Ebtanas/UAN/UN. Ironisnya yang menjadi algojo anak itu lulus atau tidak esensialnya hanya tiga bidang studi (bahasa Inggris, Bahasa Indonesia, dan Matematika). Sebelumnya kita berharap penghapusan Ebtanas tersebut menjadi momentum dan pintu masuk pemahaman yang benar dan seharusnya tentang praksis pendidikan, yang mengarah pada evaluasi proses sesungguhnya. Bukan hanya pada penilaian logis matematis dan kemampuan linguistik. Terus siswa yang memiliki kemampuan atau kecerdasan selain dua bidang tersebut apa tidak ada ruang dan penghargaan?
Sebelum kebijakan tersebut diimplementasikan seharusnya sudah dengan asumsi sistem pendidikan nasional sudah menerapkan School Base Menejement, dewan sekolah, komite sekolah/majelis madrasah sudah berjalan dengan baik sehingga aplikasi dari program tersebut tidak mengalami kendala. Persoalannya adalah menejemen berbasis sekolah dan komite sekolah selama ini hanya terbatas dalam bahasa ‘gaul’ bukan dalam kata kerja. Akankah kondisi ini mampu menopang kebijakan pemerintah tersebut?
Setiap kebijakan pasti memiliki implikasi termasuk keresahan dipihak sekolah yang tidak siap, siswa, dan orang tua dengan membengkaknya biaya ekstra. Pihak lain yang justru lebih tersenyum adalah ‘larisnya lembaga bimbingan belajar’ dan penjualan buku-buku persiapan UN. Perhatikan saja anak-anak saat berangkat ke sekolah dengan membawa buku yang tebal “Jurus UN” atau “Siap UN”. Begitu juga efek terhadap para pendidik, justru mengarahkan pada ’Pendidik Peramal’ UN bukan pendidik kreatif.
Padahal sebelumnya dipertanyakan urgensi lembaga bimbingan belajar di tengah-tengah penghapusan Ebtanas, tetapi kini mendapat angin segar kembali. Fenomena perilaku sekolah, guru, orang tua, dan bimbingan belajar menjelang UN apalagi dengan konsekuensi ‘tidak lulus’ pasti lebih semarak dan tidak mendidik. Sulit berharap adanya proses dan pemberdayaan yang memadai bagi siswa, tetapi yang terpenting sekarang sepertinya bagaimana siswa itu mampu menjawab soal.
Walaupun dengan segala kendala yang akan menerpa kebijakan standarisasi mutu pendidikan menurut Dikdasmen harus tetap jalan bahkan mulai sekarang kita harus berani untuk mencoba dan memulainya. Kami di tataran lapangan oke-oke saja untuk mencoba tetapi bagaiman jika fasilitas dan kepedulian yang diberikan pemerintah terhadap dunia pendidikan masih sangat minim apakah itu imbang, bagaimana…?
Bergesernya Orentasi Pendidikan. Makna bergeser ini dapat bergerak ke arah positif atau sebaliknya. Pelaksanaan UN kurang beberapa bulan, tetapi gaungnya sudah mulai dirasakan oleh pihak sekolah terutama guru bidang studi UN di kelas tiga. Memasuki pertengahan semester II untuk siswa kelas tiga, rata-rata materi pelajaran sudah “selesai” atau jika belum selesai, dianggap sudah selesai dengan cara “instan”.
Semua waktu yang tersedia akhirnya terkosentrasi sepenuhnya untuk latihan soal UN atau “drill soal”. Tekniknya beraneka ragam ada yang secara khusus mengkoleksi dan memberikan latihan soal untuk siswa yang notabene dianggap baik atau mengkombinasi dengan tambahan jam. Nama program musiman inipun bervariasi, misalnya pondok UN yang di dalamnya hanya berisi dril soal-soal UN.
Dari fenomena perilaku tersebut di atas beberapa hal yang menarik untuk dikritisi. Dilematisnya sikap sekolah dan guru, dalam hal ini sekolah mau tidak mau, dituntut agar NEM siswanya baik, agar sekolahnya mendapat predikat sekolah yang bagus atau lulus 100%, akhirnya dibentuklah ’Tim sukses’. Di sisi lain jika tuntutan itu dituruti dengan kurang bijaksana dan kritis, maka proses, makna, dan tujuan pembelajaran itu sendiri menjadi kabur, bergeser, bahkan terabaikan karena anak hanya belajar menjawab soal dan peran itu tak ubahnya seperti peran lembaga bimbingan belajar. Sungguh tidak mencerdaskan dan wajah pendidikan kita adalah wajah ’bimbingan belajar’
Memang tugas pendidik yang mengajar kelas tiga serba repot, karena jika nilai NEM siswanya bagus, dikatakan “ hal itu karena siswanya yang pandai” atau “diaku” oleh lembaga bimbingan belajar swasta, peran guru tidak muncul. Namun jika siswanya mendapat nilai NEM yang kurang bagus, maka gurulah orang pertama yang dituding sebagai penyebab kegagalan. Ironis.
Lebih ironis lagi, munculnya sikap dan pandangan bahwa tidak menjadi soal yang memperoleh nilai NEM tertinggi hanya satu orang, sedangkan yang lain jelek semua toh realita yang ada di masyarakat publikasi yang muncul hanyalah nilai NEM tertinggi. Efek selanjutnya adalah pandangan dan tujuan masyarakat akhirnya tersedot ke sekolahan itu. Kenyataan ini menunjukkan bahwa nilai NEM tetap “dituhankan” di mata masyarakat, tentunya ini menambah deretan panjang tentang kelemahan dari pelaksanaan sistem UN reinkarnasi dari UAN dan hasil mutasi dari EBTANAS.
Orientasi dan kreatifitas para guru boleh jadi akan bergeser, bukan lagi bagaimana menentukan strategi dan metode-metode baru yang efektif dan adaptif. Justru kepiawaian ’meramal UN’ mengoleksi soal dalam memprediksi soal-soal UN dengan acuan kisi-kisi yang sudah diedarkan, sehingga secara tidak sadar guru mengajarkan kepada peserta didiknya menjadi “peramal UN”.
Tujuan mendasar dan kemampuan yang ingin dicapai dalam pendidikan seperti yang dituangkan dalam UU No:3 tahun 2003 menjadi bergeser. Proses pendidikan seharusnya mampu mengembangkan sikap, kemampuan, pengetahuan, dan keterampilan dasar yang diperlukan untuk hidup di tengah-tengah masyarakat. Berubah menjadi kemampuan dasar siswa menjawab soal-soal yang cenderung bersifat tertutup.
Dampak selanjutnya adalah kemampuan daya nalar siswa dipastikan lemah. Jika perilaku yang kurang mendidik ini, memang kita lestarikan maka tidak salah jika lembaga sekolah tidak jauh berbeda dengan lembaga bimbingan belajar swasta “aliyas” sama hanya beda nama sama makna. Bagaimana jika lembaga bimbingan belajar pindah ke sekolah?

UAN VERSUS “KBK”
Ada banyak hal yang perlu diperhatikan seandainya kurikulum 2004 dengan pendekatan kompentsinya diterapkan di masa tahun ajaran 2004-2005. Perhatikan semangat pengelolaan pembelajaran dengan semangat KBK berikut ini. Penekanan pembelajarannya pada keefektifan dan berpusat pada siswa.
Untuk melakukan proses pembelajaran yang efektif maka guru harus kreatif untuk memberikan ruang yang kondusif bagi tumbuh dan berkembangnya potensi siswa yang beragam. Fakta-fakta yang diperoleh harus mampu mereka alami, jelaskan pada situasi yang berbeda atau menerapkan pada kehidupan nyata. Pembelajaran yang efektif memiliki ciri yang aktif dan berpusat pada siswa.
Efektif juga memiliki makna ketepatan di dalam memilih strategi yang digunakan yang berkaitan dengan tujuan, kompetensi, dan hasil belajar yang diharapkan. Variasi dan kecerdikan menentukan strategi atau pendekatan pembelajaran yang mengasyikan sangat didambakan. Guru dituntut menemukan atau memodifikasi model-model pembelajaran yang beragam, misalnya dengan CTL.
Hal lainnya yang penting dalam proses pembelajaran yang ber-KBK yaitu mengenal siswa. Mengenal siswa memiliki makna yang luas termasuk siswa dipandang sebagai subyek yang berpotensi dan harus berkembang, memahami sifatnya, mengembangkan kemampuan berpikir kritis, kreatif, dan keterampilan memecahkan masalah. Realita keberagaman siswa inilah yang menuntut pada guru untuk lebih kreatif memberikan proses pembelajaran siswa dengan kemampuan belajar yang beragam.
Problemnya adalah bagaimana mungkin sosok guru dituntut mengembangkan kreatifitas dalam pembelajaran yang menyenangkan dan berdaya tetapi di sisi lain dihantui dengan ketakutan tidak mampu menembus “lubang jarum 4.25” atau serangan “virus 4.50”. Ini menjadi sebuah dilematis untuk mewujudkan keduanya.
Pembelajaran yang menyenangkan mengharapkan anak mengalami sebuah proses belajar yang tidak hanya menekankan pada produk semata. Artinya proses belajar sangat dihargai. Nah…bagaimana jika seorang guru sudah dengan segala persiapanya untuk ber-CTL-ria tiba-tiba siswanya berbicara “Sudahlah bu…belajar dengan bermain, CTL atau lainnya itu tidak penting…sekarang ini yang penting latian soal dan soal untuk UN…”. Gurupun menjadi terhenyak dengan lontaran polos siswanya, faktanya walaupun mereka dapat belajar dengan asyik tetapi jika ujian akhir “menjawab soal” mereka tidak dapat mengerjakan toh akhirnya harus tinggal kelas! Akhirnya hitungan realistis yang berlaku, bukan kontek belajar.
Kita semua menyadari bahwa cara belajar siswa itu beragam, ada yang lebih suka dan mudah belajar sambil mendengarkan musik, melalui gambar, membaca, mendengarkan, diskusi, berkelompok, sendiri, duduk, berdiri, atau butuh tempat yang sunyi. Kita mengetahui bahwa keunikan gaya belajar tersebut adalah sebuah fakta sebagai karakteristik siswa yang memang beragam dan tidak mungkin seragam.
Uniknya adalah keberagaman gaya belajar atau cara belajar tersebut dilakukan dengan sistem penilaian yang seragam. Penilaian yang hanya menekankan pada dua jenis kecerdasan: lingusitik (berbicara, menulis, membaca) dan kecerdasan logis-matematis (logika matematika, sains). Secara umum sistem ujian yang berhasil dilakukan sebatas pada pengujian kecerdasan ‘akademik’ yang menekankan pada kehandalan ‘perpustakaan berjalan’ atau ‘hardisk berjalan’
Faktanya sekolahan tradisional telah berhasil dan berbuat banyak untuk mengolah kedua kecerdasan tersebut. Padahal sistem pengujian itu lebih sesuai digunakan untuk menilai siswa yang dengan gaya belajar akademis dan tidak terstandar untuk semua gaya belajar. Jangan-jangan apa yang dilakukan selama ini memiliki andil yang besar terhadap tingginya jumlah siswa yang putus sekolah. Sulit dijelaskan bagaimana mungkin satu metode dan penilaian yang semacam mampu melayani gaya belajar yang beragam?
Seperti yang diungkap Magnesen dalam Derden & Vos (2003) bahwa 10% kita belajar dari membaca, 20% dari apa yang didengar, 30% dari apa yang kita lihat, 50% dari yang kita lihat dan didengar, 70% dari yang dikatakan, 90% dari apa yang dikatakan dan dilakukan. Artinya beragam sumber dan gaya belajar tersebut mustahil jika hanya dilakukan penilaian sebatas pada pengujian kecerdasan akademik.
Efeknya adalah siswa yang mampu melewati sistem pengujian tradisional hanyalah siswa yang kuat di dalam dua kecerdasan tersebut, sehingga masa depan anak seakan-akan hanya ditentukan oleh kemampuan anak dalam melewati test dua kecerdasan itu. Seharusnya sebuah proses pembelajaran dipandang sebagai sesuatu yang utuh dan selalu berproses. Sebagaimana temuan metode belajar baru yang selalu melibatkan manusia secara terintegrasi seharusnya juga diikuti dengan metode penilaiannya. Metode penilaian yang tidak hanya menguji kemampuan seseorang dalam matematika atau menulis tangan. Ironis tetapi nyata.
Dari sinilah awal sebuah pengakuan dan promosi kesuksesan yang sesungguhnya justru tidak unggul. Proses pengujian tidak boleh menghalangi tumbuh dan berdayanya kemampuan pengaturan diri sendiri, penilaian diri yang berkelanjutan, kemampuan kerja sama dan keterampilan memecahkan masalah.
Semua orang tahu bahwa lahirnya kemandirian, rasa percaya diri, kejujuran, akhlaq terpuji, dan keunggulan berkat dari keterampilan kerja sama, kearifan dalam mengevaluasi diri secara berani dan berlanjut. Sangat mustahil kunggulan terlahirkan dari sebuah metode pengujian yang justru menghalangi mengalami sebuah masalah atau kreativitas, atau pola pikir yang menganggap hanya ada satu jawaban benar atas semua masalah hidup yang kompleks. Apabila memang ini yang dilakukan maka dunia tidak akan mengenal sosok kehadiran Enstein sang fenomena atau memang sekarang eranya adalah era ’Otak Kiri’.

Malang, Pebruari 2007
Pemerhati Pendidikan tinggal Di Malang

Sutirjo

Entry filed under: Learning.

Hello world! Analisis Keanekaragaman Odonata di Aliran Sungai Cuban Talun dan Cuban Rondo Kabupaten Malang. (1) Sutirjo, (2), Bagyo Yanuwiadi (3) Edi Widjajanto